Cerpen Iseng-Iseng

 Rubik Ajaib

Oleh : Kagebunshin


“Huh, lagi-lagi aku membuat kesalahan!” gertak Yama sembari melemparkan tasnya ke kasur didepannya.

Ia masih memikirkan kejadian tadi siang di sekolah yang membuatnya sangat minder. Sebenarnya kejadian-kejadian serupa sudah seringkali terjadi dan bisa dibilang normal bagi orang-orang pada umumnya. Tidak ada yang perlu disesali bahkan dibenci. Tetapi entah mengapa Yama masih saja merasa jika ia sangat  berbeda dengan teman-temannya dan hal itulah yang juga membuatnya selalu merutuki diri-sendiri.

“Seandainya saja aku dilahirkan dengan kecerdasan seperti mereka, atau bahkan lebih cerdas dari mereka. Hmm, tidak. Mungkin lima persen dibawahnya saja sudah sangat cukup.” pikirnya. 

Ia terus-menerus memandangi dirinya di depan cermin besar yang sangat berdebu. Tidak ada yang aneh. Sama seperti halnya orang-orang pada umumnya. Pandangannya beralih ke arah salah satu sudut ruang kamar. Didekatinya robekan kertas yang sudah lusuh. Di atas kertas tersebut tertulis list daftar nama-nama buku dari orang tuanya yang belum sempat ia beli. Sebenarnya Yama adalah orang yang tidak senang membaca buku. Namun hal ini semata-mata ia lakukan karena orang tuanya yang memaksa untuk selalu membaca dan membaca. Selesai membaca list buku-buku itu, Yama hanya terpaku pada judul buku nomor ketujuh.

“Beda.” 

Ya, buku itu memang hanya mempunyai satu kata sebagai judulnya. Yama mencoba menerka-nerka isi buku dengan judul yang sangat simpel tersebut.

“Ahhh percuma saja aku menebak. Sudah pastilah aku tak mampu”, ujarnya. Akan tetapi entah mengapa baru kali ini Yama mempuyai rasa penasaran terhadap buku. Padahal sebelum-sebelumnya jangankan penasaran, melihat buku pun sudah membuatnya berkeringat dingin.

Yama memutuskan untuk iseng-iseng pergi ke toko buku yang tak jauh dari rumahnya.

“Siapa tahu kepintaranku bisa naik lima persen, hehe. Bukan, bukan seperti itu. Siapa tahu aku bisa jadi pintar”, ucap Yama sambil menepuk jidatnya sendiri. Langkahnya semakin dekat dengan toko buku yang akan ia tuju.

‘Rak ke lima bawah sendiri ujung paling kanan”, ujar kakek penjaga toko buku.

“Baik kek. Terimakasih” balas Yama.

Kakek penjaga toko buku hanya menganggukkan kepalanya dan kembali menyibukkan diri dengan koran yang dipegangnya.

“Ah itu dia. Beda” ujar Yama sambil mempercepat langkahnya untuk mendapatkan buku ‘Beda’. Namun terlambat. Buku yang merupakan stok terakhir itu telah berada dalam pegangan tangan seorang anak laki-laki yang lebih muda kira-kira tiga tahun darinya. Dipandanginya anak laki-laki itu. Tangan kanannya sibuk mengacak-acak rubik. Tangan kirinya tentu saja membawa buku yang jadi incaran Yama. Namun anak itu malah balik menatap dalam-dalam ke arah Yama.

“Hey, Kau mau buku ini juga? ” tanyanya lancang kepada Yama. Padahal anak itupun tahu kalau tingginya jauh lebih pendek dari Yama.

“Ee eh iya. Tapi tak apa, ambilah saja. Lagian aku juga tidak suka membaca buku. Ambilah” sahut Yama grogi karena anak itu terus menatap tajam ke arah Yama. 

“Baiklah” jawabnya singkat lalu pergi ke arah kakek penjaga toko unuk membayarnya.

Yama sedikit lega. Karena ia tak tahu mau apa lagi di toko buku itu, ia memilih untuk pulang. Ada rasa kecewa dalam hatinya. Sepertinya ia memang benar-benar ingin menyamai teman-teman di sekolahnya. Ia segera beranjak dari dalam toko. Namun saat ia berada di dekat kasir kakek penjaga untuk keluar, anak laki-laki itu menepuk bahunya.

“Apa salahnya kita berbagi buku ini. Kau mau kan?” tanyanya. 

Lagi-lagi ia menatap Yama dengan tatapan tajam.

“Ehh iya, oke. Baiklah” jawab Yama gugup. 

Tatapan anak itu sungguh mengerikan bagi Yama. Sebenarya Yama ingin menolak saja ajakan anak itu. Rasa penasarannya dengan buku ‘Beda’ benar-benar sudah hilang sekarang. Ia pun yakin tidak bisa memahami isi bukunya setelah tahu jika buku itu benar-benar sangat tebal. 

“Ayo ikut aku” ajak anak laki-laki itu.

Yama hanya mengangguk dan tanpa pikir panjang langsung mengikuti kemana anak itu akan mengajaknya. Selama berjalan bersama anak itu tidak banyak bicara. Tangan kanannya masih saja sibuk mengutak-atik rubik yang jelas-jelas sudah ia selesaikan tetapi diacaknya lagi. Begitu seterusnya. Yama memberanikan diri untuk berkenalan dengan anak itu.

“Mm siapa namamu?”

“Rubik”

“Eh aku tanya namamu, bukan apa yang kau mainkan”, jawab Yama kesal. 

Anak itu tidak lagi menjawab perkataan Yama. Ia hanya mendongak sebentar ke arah wajah Yama. Lalu kembali fokus ke jemarinya yang sudah sangat lincah menggeser kotak-kotak rubik. Yama yang berada di belakangnya terus berusaha mencairkan suasana. Ia terus menanyakan hal-hal yang sebenarnya tidak terlalu penting hanya untuk sekedar basa-basi saja. Namun lagi-lagi anak itu menjawab dengan pernyataan singkat bahkan sesekali tidak ia jawab.

“Masuklah”, perintah anak itu setelah sampai dirumahnya.

Yama terpukau dengan isi di dalam rak-rak pajangan milik anak itu. Ada ratusan piala, piagam, dan medali terpampang dengan sangat rapi, berderet-deret seakan tiada habisnya atau bahkan akan terus bertambah seiring berjalannya waktu. 

“Oh, jadi namamu memang benar-benar rubik?” tanya Yama setelah melihat pajangan piagam-piagam bertuliskan ‘Rubik’ sebagai pemenangnya.




“Terserah kau mau panggil aku siapa” jawab Rubik sekenanya.

“Hei, aku lebih tua darimu tahu!” gertak Yama.

“Aku tahu. Setidaknya aku tidak memanggilmu langsung dengan namamu. Bukankah itu lebih baik?”

Yama terdiam. Jawaban anak itu selalu tidak dapat ditebak. Namun Yama akhirya pasrah membiarkan anak itu tentang panggilan kepadanya. Sekarang ia benar-benar ingin meminta bantuan kepada Rubik untuk membantunya menjadi pintar.

“Hei sebenarnya aku ingin bantuanmu” jelas Yama.

Rubik hanya mengernyitkan dahi tanpa berbicara sepatah kata pun.

“Emm aku tahu kau pasti sangat pintar. Kau jenius. Aku sangat bertolak belakang denganmu dan aku ingin pintar seperti kau. Selama ini aku terus menyalahkan diriku sendiri, merutuki  diri sendiri”, tambahnya.

“Jadi kamu masih mau membaca buku ini?” tanya Rubik kepada Yama sembari menyodorkan buku ‘Beda’.

“Tidak. Aku sudah tidak tertarik dengan buku itu. Kau tahu, aku tak mungkin bisa memahaminya. Aku memang bodoh”

“Bodoh? Tidak ada bodoh. Apa salahnya dengan semua itu”

“Buktiya aku ada. Semua itu salah. Aku terus merutuki diriku sendiri karena tidak sepintar dengan teman-temanku. Orang tuaku terus memaksaku untuk sepeti teman-temanku. Mereka membeli banyak buku untuk kubaca dan aku selalu tidak paham.”

“Ambilah rubikku. Bawalah pulang dan mainkanlah” peritah Rubik yang justru membuat Yama semakin kesal karena merasa perkataannya tidak ditanggapi.

“Baca buku saja aku tidak paham dan kau malah menyuruhku bermain rubik ini?. Sudahlah aku pulang saja”, kata Yama kesal.

“Tidak. Kamu harus pulang dengan rubik ajaib ini”.

“Ajaib? Mana ada rubik ajaib”.

“Ini. Ini memang rubik ajaib”.

“Tidak mau”.

“Bawalah rubik ajaib ini sementara waktu”.

“Oke. Akan kubawa”.

“Bagaimana jika minggu depan ke toko buku kakek itu?” tanya Rubik terlihat agak ramah dari biasanya.

“Ya”, jawab Yama singkat karena merasa sangat kesal.

“Jangan lupa kembalikan rubiknya sekalian”

“Ya”

Sesampainya di rumah, Yama hanya memandangi  rubik ‘ajaib’ pemberian Rubik. Ia bingung tak tahu apa yang harus dilakukan dengan rubik itu. Namun ia terus berpikir maksud kata ‘ajaib’ tadi.

Yama mulai menggeser-geser rubik. Memandangi kotak-kotak warnanya. Tidak tahu bagaimana cara memainkannya agar warna-warnanya menyatu sepert semula. Yama tak habis pikir dengan Rubik yang malah memintanya membawa rubik ketika ia ingin bantuannya untuk menjadi pintar seperti dirinya. 

Semakin lama Yama semakin penasaran dengan rubik ‘ajaib’ dari Rubik. Ia terus memainkannya meski tidak tahu caranya. Warna-warna dalam rubik terus bergonta-ganti dan semakin tercampur secara acak seiring dengan pergerakan yang dilakukan Yama. Hal itu terus ia lakukan sepanjang hari. 

“Permisi kek, lihat anak kecil yang minggu kemarin membeli buku di tempat ini?” tanya Yama kepada kakek penjaga toko buku yang dijawabnya hanya dengan gelengan kepala. 

Hari ini adalah hari yang telah Yama dan Rubik sepakati untuk bertemu. Sudah setengah jam lebih Yama menunggu Rubik yang tak kunjung datang.

“Maaf aku terlambat. Ayo ke bagian sini”, pinta Rubik kepada Yama yang masih kaget dengan kedatangannya secara tiba-tiba. 

Rubik mengajak Yama ke sudut ruangan dalam toko buku itu.

“Kamu sudah tahu maksud rubik ajaib itu kan?” tanya Rubik.

“Tidak”

“Kamu tahu”, bantahnya.

“Tidak. Itu hanya rubik biasa. Tidak ada yang istimewa”.

“Apa yang kamu lihat dari rubik itu?”.

“Kotak”.

“Ada lagi”.

“Warna”.

“Berarti kamu tahu”.

“Tidak. Itu hanya warna seperti warna-warna lainnya”.

“Tidak. Itu warna ajaib. Dengan keajaibannya hidupmu pasti berubah”.

“Berhentilah berkata tentang ‘ajaib’. Warna itu tidak bisa bercahaya ataupun berkata. Mereka hanya teracak satu sama lain. Dan itu normal, biasa saja”.

“Hebat. Kamu berhasil melihat keajaibannya. Seharusya kamu berpikiran seperti itu dari dulu”, kata Rubik kegirangan.

“Apa maksudmu?. Aku tetap saja tidak paham”, sangkal Yama.

“Kamu paham. Cobalah”

Yama berpikir sejenak. Mencoba merenungi kembali percakapan antara dirinya dengan Rubik. Keheningan terjadi beberapa saat.

“Bisakah aku menebak?”, tanya Yama yang kelihatannya sudah mulai paham.

“Sangat bisa”.

“Warna-warna itu kita. Kelebihan dan kekurangan kita masing-masing. Dalam rubik, warna-warna yang tercampur acak membuatku lebih bersemangat memainkannya. Warna-warna yang teracak semua tadi normal, biasa saja. Bukankah itu semua berarti kita dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing pasti selalu beriringan di manapun, dan itulah yang membuat kehidupan kita benar-benar ‘hidup’ tanpa membandingkan satu sama lain. Begitukah maksudmu?”, tanya Yama ragu-ragu.

Rubik hanya menatap Yama.

“Ohhh dan semua itu normal bukan?”, tanyanya lagi.

“Ya. Lalu kenapa Kak Yama terus menyalahkan diri sendiri?”, tanya Rubik yang pertama kalinya dengan panggilan ‘Kak’.

“Ya. Itu karena aku hanya memikirkan kekuranganku semata-mata tanpa memikirkan jika aku sebenarnya juga punya kelebihan yang bisa dikembangkan. Hahaha”, jawab Yama.

Rubik hanya tersenyum. 

“Lalu bagaimana aku tahu kelebihanku?” tanya Yama penasaran.

“Kelebihan Kak Yama ada di sini. Di teka-teki rubik ‘ajaib’ ini”, terang Rubik.


Comments

Popular posts from this blog

Cerpen Iseng-Iseng #2

Klasifikasi Lima Kingdom : Monera

Besaran dan Satuan