Cerpen Iseng-Iseng #2
Sesal dari 3.242 Mdpl
Oleh : Kagebunshin
Tersebut pula
perkataan Indera Bangsawan pergi mencari saudaranya. Setelah berjam-jam
lamanya, akhirnya ia sampai di suatu padang perdu yang sangat luas. Padang
tersebut merupakan bagian awal dari perjalanan pendakian yang sedang ia
lakukan. Di kanan kiri padang itu perbukitan nan tinggi berjajar mengelilingi.
Perdu-perdu yang tumbuh lebat semakin menghalangi sinar matahari senja yang
sedikit demi sedikit mulai menghilang dibalik perbukitan. Kabut semakin tebal. Suhu
udara semakin dingin. Tak lama kemudian, habis sudahlah sisa-sisa sinar
matahari senja. Gelap gulita menguasai seluruh padang perdu. Bahkan awan diatas
sana pun ikut mendung. Bintang ikut-ikutan tidak ingin berbagi sinarnya kepada
rembulan. Rembulan saat ini pun juga murung. Entah apa yang terjadi pada mereka
malam ini. Alam seakan ikut bersedih melihat Indera Bangsawan terpisah dengan
saudara kecilnya. Benar-benar malam yang suram nan sunyi.
Indera berjalan terseok-seok mencoba untuk mencari sumber mata air dalam
gulita malam ini. Tanpa penerangan, ia mencoba meraba disekelilingnya. Dahaga
yang ia rasakan sekarang ini. Terakhir ia minum kira-kira delapan jam yang lalu.
Perbekalan yang ia bawa habis semuanya. Hanya menyisakan jaket tebal yang ia
pakai sekarang ini serta sebuah jam tangan yang melingkar di tangan kirinya.
Sepatu yang ia kenakan pun sudah sobek dibagian depannya. Kulit kaki Indera
mulai terasa panas. Mungkin tak lama lagi darah segar segera menetes keluar.
Sampai disebuah pohon yang sangat besar, ia berhenti sejenak untuk melemaskan
kakinya. Tidak ditemukannya air di sekitar situ. Tenggorokannya benar-benar
kering. Disandarkannya tubuhnya yang sangat lemas. Nafasnya tersengal. Dibenarkannya
kacamata hitamnya yang sedikit melorot. Dipandangnya langit yang kelabu. Indera
merenung sejenak. Tidak habis pikir dengan kejadian yang dialaminya tadi pagi hingga
menyebabkan ia terpisah dengan adiknya. Tidak tahu entah dimana adiknya
sekarang. Tidak tahu bagaimana nanti ia bisa sampai ke puncak gunung tanpa
adiknya. Tidak tahu bagaimana jika ia pulang ke rumah nanti lalu kedua
orangtuanya menanyakan adiknya. Indera sadar bahwa dirinyalah yang egois.
Dirinyalah yang keras kepala. Ia benar-benar menyesal.
Awan sudah tak kuasa
menampung air. Rintik-rintik air mulai turun membasahi bumi. Setetes demi
setetes yang nanti akan menjadi lebat setelah sekian waktu. Indera
menengadahkan tangannya keatas. Lalu menggenggam lagi tangannya setelah
beberapa tetes air jatuh diatasnya. Tanpa pikir panjang, ia segera memetik
sehelai daun disampingnya. Lalu menyatukan kedua ujungnya menjadi kerucut.
Ditadahkannyalah daun itu untuk menampung guyuran air hujan. Setelah terisi,
langsung ditengguknya air hujan untuk membasahi tenggorokannya yang kering.
Dahaga yang ia tahan pun lenyap. Segar yang ia rasakan.
Sudah sekitar satu jam ini hujan belum kunjung reda. Pohon besar tempat
Indera berteduh sepertinya sudah tidak bisa melindunginya dari tetesan air.
Namun ia tetap bertahan disitu. Percuma jika ia harus berpindah mencari tempat
lain untuk berteduh. Tidak ada penerang untuk membantunya melihat sekitar
didalam gulita malam itu. Ia putuskan untuk tetap menunggu sampai hujan reda. Udara
semakin dingin. Indera merapatkan jaket tebalnya yang sudah tertampias oleh air
hujan. Ia mulai mengigil kedinginan. Dalam hati ia hanya berharap hujan segera
berhenti turun dari langit. Ia katupkan kedua matanya lalu bersandar ke batang
pohon besar dibelakangnya walau keadaan benar-benar tidak nyaman. Lalu dalam
hitungan menit, ia sudah berada di alam
lain. Asyik dengan mimpi-mimpinya.
“Kakak....kakak....heiii...bangun
kak....bangun!”
Indera mengerjap-ngerjapkan kedua matanya. Dicarinya sumber suara itu.
Di belakang pohon, diantara semak-semak, dimana-mana. Nihil. Tidak ada
siapa-siapa disekelilingnya. Hanya segerombolan katak yang masih menyanyi riang
di lubangan penuh air sisa hujan tadi malam. Tetes embun pagi ini berjatuhan
dari ujung daun ketika Indera usil menggoyangkan pohon kecil disampingnya. Ia
masih heran dengan suara yang membangunkannya tadi itu.
Matahari tidak bersinar cerah pagi ini. Awan mendung masih enggan berpindah
dari depan matahari. Kabut masih cukup tebal pagi ini. Begitu juga dengan udara
yang belum hangat. Indera bergegas berjalan pergi ke arah utara untuk mencoba
mencari lagi keberadaan adiknya sekaligus untuk mencari makanan alami yang
sedikit banyak bisa mengurangi laparnya. Perutnya benar-benar kosong pagi ini. Ditambah
rasa dingin dikarenakan jaketnya terkena tempias air hujan malam tadi.
“Uhhh, lengkap sudah. Lapar iya, dingin iya, kaki perih juga iya. Dimana
ada makanan? Dimana ada tempat untuk berteduh? Setidaknya aku harus mendapatkan
daun yodium untuk mengobati kakiku sementara ini.” tekad Indera.
Tiga jam berlalu sangat lambat bagi Indera. Entah mengapa ia belum juga
menemukan apa yang ia cari-cari selama ini. Dipandanginya sekeliling hutan.
Matanya tertuju pada sebuah lubang di tebing yang berbentuk semacam goa tetapi
tidak begitu lebar menganga. Depannya terutupi oleh Didekatinya lubang
tersebut. Ia berusaha masuk kedalamnya walaupun harus dengan berjongkok. Hanya
kosong yang ia dapati. Namun lumayan baginya untuk tempat beristirahat dan
menghangatkan diri sejenak.
Kabut masih juga terlihat tebal walau sekarang sudah agak siang. Mendung
tetap menggantung diatas sana. Kembali Indera melamun. Pikirannya benar-benar
kacau.
“Dimana kamu Derma...dimana?. Harus kemana kakak mencarimu?”.
“Arrrgghhhh!. Bodohnya aku!”. Maki Indera kepada dirinya sendiri.
“Kakak macam apa aku ini?. Andai saja aku tidak melakukannya”.
Air matanya mulai mengalir membasahi kedua pipinya. Indera bahkan
memukulkan tangannya ke dinding tempat dimana ia berada. Ia benar-benar kalut
dalam masalah ini.
Ya. Saat itulah
awal dari semua masalah terjadi.
Malam itu Indera dan Derma memang
sudah mempersiapkan rencana untuk pendakian ke puncak sebaik mungkin. Semua
perbekalan sudah siap dan lengkap. Malam itu juga mereka sempat mengobrol
dengan kedua orang tuanya. Kedua orangtuanya tahu akan rencana pendakian Indera
dan Derma. Pagi harinya, pendakian pun dimulai. Semua kegiatan dari rumah
sampai titk awal pendakian berjalan normal tanpa gangguan sedkitpun. Candaan
menghiasi langkah pendakian kedua kakak beradik itu. Pendakian kali ini
merupakan kali pertama yang Derma lakukan. Berbeda dengan Indera yang sudah
berpuluh gunung ia taklukkan. Bagi Indera, gunung ibarat rumah keduanya.
“Ini pengalaman pertama aku mendaki.
Sebenarnya aku agak takut kak.” Ujar Derma pada kakaknya.
“Sudah...tenanglah. Jangan
khawatir.” Jawab Indera yang entah mengapa tiba-tiba ia menjadi takut.
“Harus kemana aku berjalan jika tak tahu aku dimana” rintihnya sembari
kembali menenangkan dirinya lagi. Ia mulai berpikir baik-baik. Mencoba mencari
jalan keluar dari masalahnya satu persatu.
“Mmmhhhh....”. Indera mencoba menenangkan diri dengan mengatur
pernafasannya.
Lalu mencoba untuk berpikir lagi dan lagi. Sumber mata air adalah tujuan
pertamanya. Ia mencoba untuk berjalan sambil mendengarkan suara gemericik air.
Sulit memang mencari sumber air ditengah hutan lereng gunung ini. Yang
terdengar hanyalah suara-suara burung dari kejauhan sana. Setelah berjalan kurang
lebih satu jam, barulah Indera mendengar gemericik air mengalir.
“Itukah air sungai?” pikir Indera. Ia berjalan menuruti sumber suara air
tersebut.
“Ya. Aku yakin itu pasti air sungai”. Indera semakin mempercepat
langkahnya. Suara aliran air semakin terdengar jelas. Tumbuhan yang ia lalui
juga mendukung akan adanya sumber air disekitarnya. Selang lima menit setelah berjalan, Indera
benar menemukan adanya sungai. Sungai itu lumayan besar dengan arus air yang
mengalir cukup deras. Bebatuan ukuran
sedang banyak tersebar didalamnya. Airnya masih sangat bersih dan segar.
“Huh, akhirnya aku menemukan sungai. Ini kesempatanku mengumpulklan air
untuk persediaan selama mendaki”, ujarnya sambil mencari bambu yang akan ia
gunakan sebagai pengganti botol air minum untuk perjalanannya nanti.
Tak jauh dari
sekitar sungai tumbuh pohon yodium yang cukup lebat. Didekatinyalah pohon itu
oleh Idera.
“Wah, beruntung sekali aku. Daun ini akan kupetik untuk mengobati luka di
kakiku”, ujar Indera sambil memandangi kakinya.
Saat Indera sedang santai-santainya beristirahat di tepi sungai,
terdengarlah suara gemerisik dedaunan seperti terinjak oleh sesuatu. Suara itu
semakin lama semakin jelas. Temponya pun lebih cepat. Suara itu semakin
mendekati arah sungai. Jantung Indera berdegup kencang. Takut barangkali ada
hewan buas dibalik sana. Ia segera bersembunyi dibalik pohon sambil mengintip
ke depannya. Suara itu semakin dekat dan semakin jelas. Jantung Indera berdegup
lebih cepat lagi. Ia takut kejadian itu terulang kembali.
Namun hanya selang beberapa jam,
keadaan berputar 180 derajat. Canda tawa menjadi tegang. Mulanya hanya
terdengar suara semacam orang yang menginjak dedaunan. Kresek..kresek. Suara
itu semakin jelas dan mendekati keduanya.
“Suara apa itu kakak? Harimaukah?
Atau hewan buas lainnya?.”
“Mungkin itu pendaki lain”. Ujar
Indera dengan santainya.
“Oh”. Jawab Derma dengan singkat.
Dalam hatinya ia sudah tidak tenang.
Sebenarnya Derma memang anak tidak pemberani. Ia sangat berbeda dengan
kakaknya. Beberapa menit kemudian, dugaanya terbukti. Dari belakang keduanya
muncul seekor harimau yang sangat besar. Matanya tajam menatap keduanya. Gigi
taringnya panjang keluar. Gerakannya seperti siap menerkam kedua kakak beradik
itu.
“Lari..” teriak Indera tanpa pikir
panjang.
Adiknya yang pada dasarnya memang
penakut, langsung menuruti perintah kakaknya. Harimau terus mengejar keduanya
yang sudah berlari sangat cepat.
“Lepas tas renselmu
Derma...jatuhkan...cepat!” perintah Indera sambil berteriak kepada adiknya di
belakang. Ia pun juga melepas tasnya lalu lari sekencang-kencangnya lagi.
Derma langsung saja menuruti
perintah kakaknya. Ia sudah sangat lelah. Pandangannya mulai kabur. Nafasnya
sudah tersengal. Harimau pun masih mengejar mereka.
“Cepat lari Derma jika kau tak ingin
dimakan hidup-hidup harimau itu...dasar lemah!” maki Indera kepada adiknya yang
larinya semakin lambat.
Bukannya menunggu adiknya, Indera
justru lari semakin jauh dari Derma. Ia tutup mata tak peduli dengan
keselamatan adiknya. Ia terus lari memikirkan keselamatan dirinya. Ia tidak
tahu bahwa saat pandangan Derma mulai kabur, Derma tak melihat adanya bebatuan
berlumut di sekitarnya yang mengarah ke jurang. Dan sialnya Derma menginjaknya.
“Kakak...tolong kakak...” teriak
Derma untuk kakaknya yang sudah sangat jauh meninggalkan sehingga tidak
terdengar.
Indera berhenti berlari setelah
menyadari tidak ada siapa-siapa dibelakangnya. Ia juga tak tahu dimana harimau
yang tadi mengejarnya. Benar-benar sepi. Semuanya seolah lenyap begitu saja.
“Derma....Derma....dimana kamu
Dermaa...” teriak Indera kesana kemari. Namun yang ada hanya pantulan suaranya
sendiri yang terdengar. Hening. Indera mulai panik tak melihat batang hidung
adiknya. Ia terus meneriaki dan mencari saudara kecilnya yang sebenarnya sudah
terjun ke jurang tanpa ia ketahui.
Indera memejamkan matanya. Berdoa akan segala kemungkinan yang mungkin
terjadi. Ia takut harimau yang dulu mengejarnya muncul lagi. Dan ternyata bukan
harimau yang muncul dari sana. Bukan juga hewan buas lainnya.
“Huh...aku kira” Indera bernafas lega setelah mengetahui bahwa suara tadi
merupakan suara kaki pendaki lain yang juga menuju ke sungai tersebut. Indera
keluar dari tempat persembunyiannya dengan hati yang tentram. Jantungnya sudah
berdetak normal. Tidak secepat yang ia rasakan tadi.
Tanpa malu-malu, Indera mendekati kedua pendaki tersebut. Indera
memperkenalkan dirinya. Bahkan ia juga membicarakan masalah yang sedang ia
alami kepada mereka. Beruntung keduanya orang baik dan peduli. Perbincangan
panjang terjadi diantara ketiganya. Dalam hitungan menit, mereka sudah menjadi
seperti sahabat yang sudah lama kenal. Mereka bersedia untuk membantu Indera
mencari adiknya.
“Kita akan bantu kamu mencari adikmu. Namun sangat kecil kemungkinannya untuk
ditemukan. Kamu tahu kan, biasanya orang yang sudah hilang di gunung tidak akan
kembali? Mereka seakan lenyap tanpa jejak ditelan bumi. Sudah banyak kejadian
seperti yang kamu alami sekarang. Dan sangat jarang ada yang ditemukan. Jika
beruntung, pasti kamu akan menemukan adikmu.” Ujar salah satu pendaki dari
keduanya.
“Ya, aku tahu itu. Aku paham.” Jawab Indera sekenanya.
Setelah diskusi panjang terjadi, mereka memutuskan lebih baik meminta
tolong kepada tim khusus untuk usaha pencarian Derma. Disamping mereka tidak
ada yang tahu dasar-dasar pencarian, alat yang mereka bawa pun terbatas karena
memang tujuan utama mereka adalah mendaki. Bukan mencari. Salah satu dari kedua
pendaki itu sudah melaporkan masalah Indera kepada tim tersebut lewat hpnya.
Sulit memang untuk mengabari dikarenakan tidak ada sinyal sedikitpun digunung.
Setelah ini mereka tetap akan melanjutkan pendakian ke puncak 3.242 Mdpl.
Dahaga, kecewa, sesal, dan luka sedikit terobati karena datangnya dua orang
pendaki lain yang bersedia membantu Indera. Indera mulai bisa berpikir tenang.
Perlahan demi perlahan, frustasi yang hampir terjadi padanya mulai enyah. Ini
benar-benar menjadi euforia yang
dialaminya. Bibirnya tersenyum tipis.
Pendakian dilanjutkan. Canda dan tawa terus mengiringi langkah mereka.
Berbagai rintangan dan halangan yang terjadi memang pasti selalu ada. Namun
dapat mereka atasi dengan baik karena tidak ada egois diantara mereka. 12 jam
kemudian, jalur yang mereka lalui mulai berubah bentuknya. Kini sudah terlihat
banyak bebatuan dan debu-debu vulkanik tebal yang mengharuskan mereka
menggunakan masker. Jalanan yang mereka lewati juga mulai menanjak tajam.
“Awas! Hati-hati jangan sampai tergelincir. Jangan lepas masker kalian.”
Perintah salah satu pendaki yang tadi.
“Lima belas menit lagi kita sudah bisa sampai puncak tepat waktu. Sunrise
masih bisa kita lihat dengan elok darisana. Sempurna. Huh .... semangat kawan!”
ujar salah satu pendaki yang lain lagi. Tangannya menepuk pundak kanan Indera.
Indera hanya tersenyum antara senang dan khawatir. Udara dipuncak semakin
turun drastis beberapa derajat. Ini sangat dingin. Kembali ia merapatkan
jaketnya yang sekarang sudah benar-benar lusuh. Gulita masih menyelimuti
ditemani kabut. Hanya senter yang mereka gunakan sebagai penerangan. Dari
kejauhan juga sudah banyak terlihat sinar-sinar cahaya yang serupa. Mereka
pendaki-pendaki lain yang juga mulai sampai di puncak. Terdengar
teriakan-teriakan bahagia dari sana. Dingin, gelap, dan lelah enyah seketika
tatkala puncak sudah mulai dijejaki. Inilah kebahagiaan yang paling
dinanti-nantikan oleh para pendaki. Puncak.
“Wuhu...akhirnya...” ujar salah satu
pendaki.
“Yeah..tak kusangka. Benar-benar...huh!” balas yang lainnya lagi dengan
kata-kata yang tidak Indera pahami.
Lagi-lagi Indera hanya diam. Rasa kecewa, sedih, dan penyesalan memenuhi
hatinya. Pikirannya beralih ke adiknya lagi. Seharusnya ia dan Derma sudah
berada di sini sekarang. Seharusnya ia dan Derma berfoto bersama dengan latar
belakang sunrise dari puncak gunung ini. Seharusnya ia bisa mendampingi Derma
yang baru pertama kali mendaki sampai puncak. Tetapi ia malah menghancurkan
mimpi adiknya. Ia tahu jika seharusnya ialah yang melindungi adiknya saat itu.
Adiknya memang lemah. Itu karena ia baru sembuh dari suatu penyakit yang
dideritanya bertahun-tahun tanpa sepengetahuan kakaknya. Kakaknya hanya tahu
satu kalimat. Derma memang laki-laki yang lemah.
Perlahan, air matanya meleleh kembali. Ia benar-benar menyesal. Dimana
Derma? Tak ada yang tahu. Mungin saja sudah mati diterkam harimau atau
benar-benar lenyap bagai hilang ditelan bumi. Ya. Kemungkian Derma memang sudah
tak terselamatkan sejak ia jatuh kedalam jurang yang sangat dalam. Jika selamat
pun tidak mungkin ia dapat keluar sendiri dari sana. Jurang itu sangat dalam dan
hanya ditumbuhi rumput-rumput berduri beserta batu-batu yang sudah berlumut.
Ditambah beberapa jam setelahnya hujan turun dengan deras. Suhu udara disana
juga ekstrem. Intinya, sangat mustahil Derma masih selamat jika dinalar dengan
logika. Semua memang tak ada yang tahu. Ini benar-benar menjadi misteri dari
yang kuasa. Indera melihat ke sekelilingnya. Dari kejauhan Indera melihat
seseorang yang sangat mirip dengan Derma. Rambutnya, posturnya memang mirip. Tetapi jaket yang ia
kenakan sudah berbeda.
“Derma...Derma..kaukah itu?” teriak Indera.
Tak ada jawaban dari sana. Tak ada tolehan juga. Namun seseorang itu
benar-benar sangat mirip. Indera mencoba mendekati orang tersebut. Ditepuklah
pundaknya. Dan ternyata...
~ o ~
Matahari perlahan demi perlahan menampakkan dirinya. Semburat jingga mulai
tergores di langit pagi ini. Kabut masih enggan untuk berpindah. Awan masih
bergelung menambah keindahan langit. Sempurna sudah panorama puncak di pagi
hari ini.
Comments
Post a Comment